Kualitas Udara Jakarta Tidak Sehat, Warga Diminta Waspada

Senin, 22 September 2025 | 16:25:21 WIB
Kualitas Udara Jakarta Tidak Sehat, Warga Diminta Waspada

JAKARTA - Awal pekan ini, masyarakat Jakarta kembali dihadapkan pada tantangan serius terkait kesehatan lingkungan. Kualitas udara Ibu Kota terpantau berada pada kategori tidak sehat, sehingga kelompok masyarakat tertentu diimbau untuk membatasi aktivitas luar ruang dan selalu menggunakan masker.

Peringatan ini disampaikan menyusul data dari situs pemantau kualitas udara IQAir, yang menempatkan Jakarta di peringkat kedua kota dengan udara terburuk di dunia pada Senin (22 Septembr 2025) pagi. Kondisi tersebut menegaskan bahwa polusi udara masih menjadi persoalan mendesak yang belum sepenuhnya teratasi di wilayah metropolitan terbesar di Indonesia.

Paparan PM 2,5 Melebihi Batas WHO

Berdasarkan data IQAir pada pukul 06.25 WIB, kualitas udara Jakarta tercatat di angka 160 AQI (Air Quality Index) dengan konsentrasi PM 2,5 sebesar 68 mikrogram per meter kubik. Angka tersebut masuk kategori tidak sehat dan dianggap berisiko bagi kelompok sensitif, seperti anak-anak, lansia, serta penderita penyakit pernapasan.

Jika dibandingkan dengan panduan tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), konsentrasi PM 2,5 di Jakarta pada pagi itu mencapai 13,6 kali lipat lebih tinggi dari ambang batas yang direkomendasikan. 

PM 2,5 sendiri adalah partikel halus berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron, yang mampu menembus jauh ke dalam saluran pernapasan dan memicu berbagai gangguan kesehatan.

Imbauan Masker dan Pembatasan Aktivitas

Melihat kondisi tersebut, laman IQAir merekomendasikan agar kelompok sensitif tidak melakukan aktivitas di luar ruangan. Penggunaan masker menjadi langkah pencegahan utama untuk meminimalkan risiko terpapar polusi.

Rekomendasi serupa berlaku juga bagi masyarakat umum. Siapa pun yang terpaksa beraktivitas di luar rumah dianjurkan tetap menggunakan masker, terutama pada jam-jam dengan polusi tinggi. “Kelompok sensitif sebaiknya tidak beraktivitas di luar ruangan,” demikian catatan dalam situs resmi IQAir.

Jakarta di Peringkat Kedua Dunia

Posisi Jakarta di peringkat kedua kota dengan kualitas udara terburuk pada Senin pagi menambah daftar panjang masalah polusi perkotaan. Sementara itu, Kinshasa di Kongo menempati posisi pertama dengan angka indeks 163.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa Jakarta masih harus berjuang keras dalam menekan laju polusi udara, meskipun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah maupun pusat. Mobilitas tinggi, kepadatan kendaraan, serta faktor cuaca menjadi kombinasi yang memperburuk kualitas udara.

Perbedaan Data Pemprov DKI

Menariknya, data berbeda justru muncul dari situs resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, udara.jakarta.go.id. Pada hari yang sama, rata-rata kualitas udara dari 111 titik Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) menunjukkan hasil lebih bervariasi, mulai dari kategori baik hingga sedang.

Dari keseluruhan titik pemantauan, hanya satu lokasi yang tercatat berada pada kategori tidak sehat, yakni SPKU di Tegal Alur dengan angka 130. Data ini memunculkan perbedaan persepsi publik mengenai sejauh mana kualitas udara Jakarta berada pada level berbahaya.

Dampak Polusi pada Kesehatan

Meski terdapat perbedaan data, para pakar kesehatan menegaskan bahwa masyarakat tidak boleh mengabaikan risiko polusi udara. Paparan jangka panjang terhadap PM 2,5 diketahui dapat memicu asma, penyakit jantung, penurunan fungsi paru-paru, hingga kanker paru-paru.

Kondisi udara yang tercatat “tidak sehat” menjadi sinyal bagi warga Jakarta untuk lebih peduli terhadap kesehatan pernapasan. Penggunaan masker, menjaga ventilasi rumah, hingga menanam lebih banyak vegetasi di sekitar lingkungan merupakan langkah kecil yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak polusi.

Tantangan Pengendalian Polusi

Fakta bahwa Jakarta kerap masuk jajaran kota dengan kualitas udara terburuk dunia menunjukkan tantangan besar yang dihadapi pemerintah. Upaya pengendalian polusi, seperti pembatasan kendaraan berbahan bakar fosil, perluasan transportasi publik, hingga kebijakan pengendalian industri, masih terus digodok.

Namun, kondisi geografis dan faktor cuaca turut memengaruhi. Saat angin lemah atau kelembapan tinggi, polutan lebih mudah terperangkap di lapisan udara rendah sehingga kualitas udara memburuk. Hal ini membuat perbaikan kualitas udara tidak hanya bergantung pada kebijakan transportasi dan industri, tetapi juga faktor alam.

Perlunya Partisipasi Publik

Selain langkah pemerintah, peran aktif masyarakat menjadi faktor kunci dalam menekan polusi. Penggunaan kendaraan ramah lingkungan, membatasi pembakaran sampah, serta mendukung ruang terbuka hijau merupakan bagian dari kontribusi kolektif.

Kesadaran masyarakat untuk memantau kualitas udara harian melalui aplikasi atau situs resmi juga penting agar dapat menyesuaikan aktivitas dengan kondisi lingkungan. Dengan begitu, risiko kesehatan akibat polusi bisa ditekan lebih awal.

Data terbaru IQAir yang menempatkan Jakarta sebagai kota dengan udara terburuk kedua di dunia menyoroti kembali urgensi penanganan polusi di Ibu Kota. Meski situs resmi Pemprov DKI mencatat hasil berbeda dengan mayoritas titik berada di kategori baik hingga sedang, realitas lapangan menunjukkan bahwa risiko kesehatan tetap nyata.

Masyarakat diimbau untuk tetap waspada, terutama kelompok sensitif, dengan selalu menggunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan. Perbaikan kualitas udara membutuhkan kolaborasi berbagai pihak, mulai dari pemerintah, swasta, hingga masyarakat umum.

Polusi udara bukan sekadar persoalan lingkungan, tetapi juga ancaman langsung terhadap kesehatan generasi sekarang dan mendatang.

Terkini

12 Rekomendasi Tempat Kuliner Terbaik di Labuan Bajo

Senin, 22 September 2025 | 16:37:40 WIB

Panduan Lengkap Kuliner Badung Bali: 7 Tempat Makan Terbaik

Senin, 22 September 2025 | 16:37:39 WIB

6 Resep Pie Susu Berbagai Rasa, Camilan Manis Mudah Dibuat

Senin, 22 September 2025 | 16:37:38 WIB

Hasil Drawing Korea Open 2025 dan Daftar Atlet Indonesia

Senin, 22 September 2025 | 16:37:36 WIB